234 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Daud Tanudirja * Master of Arts, Doktor of Phylosophy, Staf Pengajar Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. ULASAN BUKU ASIA TENGGARA, TANAH ASAL PERADABAN KUNO DUNIA? Eden in the East, the Drowned Continent of Southeast Asia Stephen Oppenheimer Hardback : Weidenfeld & Nicholson Ltd, London, 1998 Paperback: Phoenix Books, 1999 (xvi, 560 hal. Illustrasi.) Daud Tanudirja* ampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan 'pinggiran'. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Namun, Stephen Oppenheimer berpendapat lain. Dokter ahli genetik yang belajar banyak tentang sejarah peradaban ini malah melihat kawasan Asia Tenggara sebagai tempat cikal bakal peradaban kuno berasal. Munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Oppenheimer tidak bergurau. Sebaliknya, tesisnya sarat didukung oleh data yang diramu dari hasil kajian arkeologi, etnografi, linguistik, geologi, maupun genetika. Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Paparan Sunda. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia. Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Paparan Sunda malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan. Bagi Oppenheimer, kisah 'Banjir Nuh' atau 'Benua Atlantis yang hilang' tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional. Ketika banjir melanda, terjadi diaspora para penghuni kawasan ini. Mereka menyebar ke Barat hingga India dan Mesopotamia, ke Timur lalu menghuni Kepulauan Pasifik, dan ke Utara sampai ke Cina dan Jepang bahkan terus menyeberang ke Amerika lewat Selat Bering. Menurut Oppenheimer, diaspora ini cocok dengan rekonstruksi linguistik terbaru versi Johanna Humaniora Volume XV, No. 2/2003 235 Asia Tenggara, Tanah Asal Peradaban Kuno Nichols yang menganggap Asia Tenggara sebagai pusat persebaran bahasa-bahasa dunia setelah akhir zaman Es. Ini tentu saja amat bertentangan dengan teori yang umum dianut, yang meletakkan tempat asal bahasa-bahasa Asia Timur (Tibeto-Burma, Tai-Kadai, Austroasiatik dan Austronesia) di timur Himalaya, tempat sungai-sungai besar di daratan Asia berhulu. Namun, Oppenheimer juga merujuk sintesis dari empat pakar arkeologi yang meyakini bahwa kawasan ex- Paparan Sunda adalah pusat diaspora manusia pada akhir zaman Es. Petunjuk genetika pun membuktikan bahwa penduduk Asia Tenggara sudah menghuni kawasan ini paling tidak sejak akhir Kala Pleistosen, dan tidak banyak mendapat aliran gen baru dari daratan Asia. Oppenheimer yakin, 'Orang Asli' yang kini bermukim di Semenanjung Malaya adalah sisa penduduk asli Paparan Sunda yang 'tetap tinggal di rumah' ketika keluarga lainnya migrasi. Artinya, migrasi terjadi dari kawasan Kepulauan Asia Tenggara ke Daratan Asia, dan bukan sebaliknya. Jadi, migrasi penutur bahasa Austronesia pun bukan dari Cina Selatan-Taiwan ke Kepulauan Filipina-Indonesia lalu ke Pasifik dan Madagaskar seperti yang disintesiskan oleh ahli bahasa Robert Blust maupun ahli arkeologi Peter Bellwood. Justru dari Kepulauan Indonesia-lah, para penutur Austronesia berasal. Bagi Oppenheimer, orang Sumeria yang menjadi peletak dasar peradaban di Mesopotamia adalah orang Asia Tenggara. Kesamaan benda-benda Neolitik yang muncul di Asia Tenggara dan Mesopotamia sekitar 7.500 tahun lalu menjadi salah satu bukti. Ciri fisik orang Sumeria yang bermuka lebar (brachycepalis) dan wajah tipikal 'orientalis' patung-patung wanita Sumeria bisa jadi bukti lainnya. Malahan, tokoh legenda Uthnapishtim, yang dalam wiracarita Gilgamesh dan daftar raja-raja Sumeria disebut sebagai satu-satunya orang yang selamat dari banjir besar, sehingga dianggap prototipe 'Nabi Nuh', tidak lain adalah personifikasi migran dari Asia Tenggara. Dalam legenda Babilonia, kedatangan migran Asia Tenggara direkam dalam kisah tujuh orang bijak yang datang dari laut (Timur) membawa berbagai keterampilan dan pengetahuan baru. Kisah seperti ini juga terdapat di Hindukush (pusat peradaban Indus kuno) dan dimuat dalam Buku Kematian Mesir kuno. Sementara itu, dalam berbagai varian, legenda ini masih tersebar luas di Kepulauan Nusantara hingga Pasifik. Oppenheimer tidak berhenti sampai di situ. Ia mengungkapkan bahwa kisah bertema penciptaan Adam-Hawa hingga sengketa Kaen-Habel ternyata tersebar luas di Asia dan Pasifik. Di New Zealand, orang Maori menyebut wanita pertama sebagai 'Eevee'. Dalam berbagai mitos di kawasan ini, manusia pertama dikisahkan dibuat dari lempung merah. Kisah sengketa dua saudara kandung juga populer di Papua Nugini dengan tokoh bernama Kullabop dan Manup. Karena itu, Oppenheimer yakin kisah Kejadian Dunia (Genesis) aslinya berasal dari Asia Tenggara, sehingga ia menganggap Asia Tenggara sebagai 'Taman Firdaus' (Eden in the East). Sintesis Oppenheimer memang amat mengesankan, terutama bagi pembaca yang awam sejarah budaya. Namun, barangkali tidak akan begitu saja diterima oleh mereka yang tahu banyak tentang seluk beluk prasejarah Asia Tenggara. Soalnya, tidak sedikit data yang dia pakai masih kontroversial. Misalnya, ia menyatakan telah terjadi 'perdagangan' antara penduduk Asia Tenggara dengan Melanesia segera setelah orang Asia Tenggara bermigrasi ke Melanesia sekitar 6.000 tahun lalu. Padahal, sampai kini data yang sahih hanya membuktikan sejak sekitar 3.500 tahun lalu (Bellwood and Koon, 1989; Ono, 2002, pers.comm.). Disebut pula, salah satu hewan ternak yang dibawa oleh orang Austronesia, yaitu babi, sudah ada di Melanesia sejak 8.000 tahun lalu dan di dataran tinggi Papua Nugini sejak 5.000 tahun lalu. Ternyata kebanyakan peneliti prasejarah di kawasan itu tidak mengakui itu (Spriggs, 1996). Demikian pula dengan keberadaan gerabah di Papua Nugini yang disebut sejak 5.600 tahun lalu, hingga kini masih amat diragukan kebenarannya (Spriggs, 1996; 1997; Terrell dan Welsch, 1997). Dengan memakai pertanggalan yang 236 Humaniora Volume XV, No. 2/2003 Daud Tanudirja lebih purba, walaupun kurang sahih, Oppenheimer seolah ingin menghindari adanya anakronisme dalam sintesisnya. Tentu saja ini sangat riskan. Meskipun sintesisnya tampak meyakinkan, tetapi bagai tergantung pada jejaring laba-laba yang rapuh. Jika data pertanggalannya terbukti tidak setua itu, maka sintesis ini hampir pasti akan rontok. Sintesis Oppenheimer mengingatkan kita pada teori hiper-difusionisme Elliot Smith yang dikembangkan oleh W.J. Perry sekitar tahun 1920-an. Kedua tokoh itu yakin bahwa Mesir adalah tempat asal peradaban dunia yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Teori hiper-difusionisme pun disusun dari paralelisme data arkeologi, organisasi sosial, religi, dan ciri etnografi lain yang terdapat di berbagai penjuru dunia (Trigger, 1989). Kalau dalam cara meyakinkan pembacanya, karya Oppenheimer ini mirip dengan karya-karya Eric von Daniken, yang menganggap peradaban manusia di bumi ini sebagai hasil transfer iptek dari mahluk angkasa luar ! Seperti von Daniken, Oppenheimer juga menggunakan penggalan-penggalan data arkeologi yang diramu dengan beragam hasil kajian ilmiah bidang lainnya. Gaya penyajiannya yang ilmiah populer membuat buku ini enak dibaca. Karya seperti ini dikenal sebagai pseudo-archaeology yang memang cenderung lebih menawan dan 'menghibur' daripada karya arkeologi murni yang sering terasa kering dan 'tidak menantang'. Membaca buku Oppenheimer memang mengasyikkan, khususnya bagi mereka yang berwawasan 'posmo'. Nuansa dekonstruksi yang kuat dalam buku ini bisa membuat mereka sulit berhenti membaca. Hampir di tiap bagian ada kontroversi, yang kemudian dipecahkan dengan cerdik untuk menggiring pembaca mengamini gagasan si penulis. Apalagi, data yang dipakai amat mutakhir, termasuk data paling baru yang dikumpulkan si penulis sendiri saat ia praktek sebagai dokter di desa-desa terpencil Asia Tenggara dan Papua Nugini. Meskipun begitu, perlu dibaca dengan hati-hati kalau mau menyikapinya secara lebih ilmiah. Untuk 'food of thought', tentu buku ini layak untuk dibaca. DAFTAR PUSTAKA Bellwood, P. dan P. Koon. 1989. “Lapita colinist leave boats unburned”. Antiquity 63: 613-620. Ono, R. 2002. personal communication. Spriggs, M. 1996. “Chronology and colonization in Island Southeast Asia and the Pacific: new data and an evaluation”. In J. Davidson, G. Irwin, F. Leach, A. Pawley, and D. Brown (eds.), Oceanic culture history, essays in honour of Roger Green, pp. 33-50. Spriggs, M. 1997. The Island Melanesian. Blackwell Publishers. Terrell, J. dan R. Welsch. 1997. “Lapita and temporal geography of prehistory”. Antiquity 71: 548-572. Trigger, B. 1989. The history of archaeological thought. Cambridge University Press.